Kesalahan
diagnosa dan penatalaksanaan pengobatan dokter sering terjadi di belahan dunia manapun. Di negara yang
paling maju dalam bidang kedokteranpun, para dokter masih saja sering melakukan over diagnosis, over treatment atau
terjadi wrong diagnosis pada penanganan pasiennya. Begitu juga di Indonesia,
perbedaan pendapat para dokter dalam mengobati penderita adalah hal yang biasa
terjadi. Perbedaan dalam penentuan diagnosis dan penatalaksanaan mungkin tidak
menjadi maslah serius bila tidak menimbulkan konsekuensi yang berbahaya dan
merugikan bagi penderita. Tetapi bila hal itu menyangkut kerugian biaya yang
besar dan ancaman nyawa maka akan harus lebih dicermati. Sehingga sangatlaj
penting untuk melakukan second opinion terhadap dokter lain tentang permasalahan
kesehatan tertentu yang belum terselesaikan. Dengan semakin meningkatnya
informasi dan tekhnologi maka semakin terbuka wawasan ilmu pengetahuan dan informasi
tentang berbagai hal dalam kehidupan ini. Demikian juga dalam pengetahuan
masyarakat tentang wawasan dan pengetahuan tentang permasalahan kesehatannya.
Terdapat manfaat yang besar bila masyarakat bisa memahami permasalahan
kesehatan yang dialami. Tetapi sebaliknya bila informasi yang diterima tidak
akurat atau salah dalam menginterpretasikan informasi maka juga akan
membahayakan penanganan permasalahan kesehatannya. Bahkan seringkali karena
informasi yang sepotong-sepotong atau salah dalam menginterpretasikannya
informasi seorang pasien berani menggurui dokter dan terlalu cepat memvonis
bahwa dokter salah dan tidak becus.
Pasien kelompok demikian ini selalu keras kepala dalam mempertahankan informasi
yang didapat tanpa mempertimbangkan masukan dari dokter tentang fakta yang
sebenarnya terjadi.
1. Keputusan
dokter tentang tindakan operasi, diantaranya operasi amandel, sinus, penambalan
gendang telinga dan tindakan operasi lainnya.
2. Keputusan dokter
tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2 minggu, misalnya pemberian
antibiotika jangka panjang dan pemberian oabt-obat jangka panjang lainnya.
3. Keputusan
dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat mahal : baik obat minum,
antibiotika, susu mahal atau pemberian imunisasi yang sangat mahal.
4. Kebiasaan
dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan pada kasus yang tidak
seharusnya diberikan : seperti infeksi saluran napas, diare, muntah, demem
virus dan sebagainya. Biasanya dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi
selalu diberi antibiotika.
5. Keputusan
dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium dengan biaya sangat besar
6. Keputusan
dokter tentang suatu penyakit yang berulang diderita misalnya : penyakit jamur
di kuping berulang, otitis media akut berulang dll
7. Keputusan
diagnosis dokter yang meragukan : biasanya dokter tersebut menggunakan istilah
“ gejala” seperti diagnosis autis ringan dan gangguan perilaku lainnya.
8. Keputusan
pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan oleh institusi kesehatan
nasional atau internasional :seperti
pengobatan, terapi antibiotika yang berlebihan dan tidak sesuai dengan
indikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar